Tampilkan postingan dengan label Short story. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Short story. Tampilkan semua postingan

Kamis, 01 Februari 2024

PENGELANA (BAG.2, ZARATHUSTRA)

Demikianlah kata Zarathustra kepada dirinya sendiri selagi mendaki.

Menghibur hatinya dengan kata-kata keras; karena hatinya terluka sangat dalam.

Dan ketika dia tiba di puncak punggung gunung,
Lihatlah, di sana terbentang laut di sisi lain itu dimukanya; dan dia berdiri dan terdiam lama.
Tetapi malam pada ketinggian ini dingin dan cerah dan terang dengan bintang-bintang.

" Akhirnya aku menyadari nasibku (akhirnya dia berkata dengan sedih).
Baiklah!, aku siap, Kesendirian terakhirku baru saja dimulai. "

" Ah, laut hitam penuh kesedihan di bawahku!
Ah, keengganan muram ini!
Ah, takdir dan laut!
Kini aku mesti turun kepadamu! "

" Aku berdiri dihadapan gunungku yang tertinggi dan pengembaraan ku yang terpanjang; karena itu aku mula-mula harus turun lebih dalam daripada yang pernah aku turuni.

---ke dalam kepedihan yang lebih dalam daripada yang pernah aku rasakan, turun sampai ke alirannya yang paling hitam!
Demikianlah ketentuan takdirku.
Baiklah!  Aku siap. "

Dari manakah munculnya gunung-gunung tertinggi?  Pernah aku bertanya.
Kemudian aku tahu bahwa mereka muncul dari laut.

Hukum ini tertulis pada batu-batu mereka dan di lereng-lereng puncak mereka.
Yang tertinggi harus mencapai ketinggiannya dari kedalaman mereka yang terdalam.

Demikianlah kata Zarathustra di atas puncak gunung yang dingin itu; namun ketika dia sudah dekat dengan laut, dan akhirnya berdiri sendirian di bawah bukit-bukit karang, dia telah menjadi letih dalam perjalanan dan merasa lebih rindu daripada sebelumnya.

" Segalanya masih tertidur (dia berkata); bahkan laut pun tertidur.
Matanya melihat padaku dengan mengantuk dan asing.

Tetapi napasnya hangat; aku merasakannya.
Dan aku merasakan pula bahwa ia sedang bermimpi.
Bermimpi, ia meronta di atas bantal yang keras. "

" Dengar!
Dengar!
Betapa ia melenguh dengan kenangan-kenangan yang jahat!
Atau pengharapan-pengharapan jahat! "

" Ah, aku berduka denganmu, monster hitam, dan juga marah pada diriku demi engkau. "

" Aduh, tangan-tanganku tidak cukup kuat! sungguh, aku akan sangat senang membebaskanmu dari impian-impian burukmu! "

Dan selagi Zarathustra berbicara seperti itu, dia menertawakan dirinya dengan sendu dan pahit.

" Apa, Zarathustra! "
Dia berkata,
" Inginkah kau bernyanyi menghibur laut pula "

" Ah, engkau si dungu manis, Zarathustra, terlalu lekas percaya!
Tetapi begitulah engkau selama ini: Engkau selalu mendekat tanpa curiga kepada segala yang menakutkan. "

" Engkau selalu ingin mengelus setiap monster.
Satu hembusan napas hangat,  satu usapan bulu halus pada cakarnya---dan langsung saja mau mencintai dan membujuknya. "

" Cinta adalah bahaya bagi manusia yang sendirian, cinta pada setiap benda asalkan ia hidup! Benarlah, Kebodohan dan kerendahan hatiku dalam mencinta itu patut ditertawakan! "

Demikian kata Zarathustra dan tertawa lagi: tetapi kemudian dia berpikir tentang teman-temannya yang telah di tinggalkannya,
Dan dia menjadi marah kepada dirinya sendiri karena berpikir seperti itu, seakan-akan dia telah melukai teman-temannya dengan pikiran-pikiran itu.

Dan langsung saja dia yang tertawa itu menangis---karena marah dan rindu maka Zarathustra menangis dengan pahit. 

TENTANG KECERMATAN JANTAN (BAG.1, ZARATHUSTRA)

Bukan ketinggian, tetapi juranglah yang mengerikan! Jurang dimana pandangan mata mengarah ke bawah dan tangan menjangkau ke ata...