Jumat, 09 Februari 2024

TENTANG KECERMATAN JANTAN (BAG.1, ZARATHUSTRA)

Bukan ketinggian, tetapi juranglah yang mengerikan!

Jurang dimana pandangan mata mengarah ke bawah dan tangan menjangkau ke atas.
Di tempat itu hati menjadi puyeng akibat kehendak gandanya.

" Ah, sobat-sobatku, sudahkah kalian mengetahui kehendak hatiku yang ganda? "

Bahwa pandangan mataku terjun ke ketinggian-ketinggian dan bahwa tanganku ingin berpegang ke kedalaman-kedalaman dan bergantung di sana-sini, itu adalah jurangku dan bahayaku.

Kehendakku bergantung pada umat manusia.

Aku mengikat diriku kepada manusia dengan belenggu, karena aku tertarik ke atas oleh manusia-Unggul: karena kehendakku yang lain ingin menarikku kepada Manusia-Unggul.

Agar tanganku tidak benar-benar kehilangan keyakinannya pada keteguhan: itulah sebabnya aku hidup membabi buta diantara manusia, seakan-aku tidak lagi mengenal mereka.

Aku tidak lagi mengenal kalian orang-orang: kegelapan dan hiburan ini telah sering menyebar di sekelilingku.

Aku duduk di gapura dan menunggu datangnya setiap penjahat dan bertanya: " Siapa ingin menipuku? "

Inilah kecermatan jantanku yang pertama:
Aku biarkan diriku ditipu agar tidak harus berjaga-jaga terhadap para penipu.

Ah, bila aku berjaga-jaga terhadap manusia, bagaimana manusia bisa menjadi jangkar untuk bolaku? Bola itu akan tertarik ke atas dan menjauh terlalu mudah!

Ketetapan ini membebani nasibku: Aku harus tidak mampu melihat kejadian yang belum terjadi.

Dan dia yang tidak ingin mati kehausan di antara manusia-manusia harus belajar minum dari semua gelas; dan dia yang ingin tetap bersih di antara manusia harus tahu bagaimana mencuci dirinya bahkan dengan air kotor.

Dan guna menghibur diriku aku sering berkata begini: " Baik! ayolah, hatiku!  Sebuah kemalangan  tidak berhasil menyakiti engkau: Nikmatilah itu sebagai---keberuntunganmu! "

Namun ini adalah kecermatan jantanku yang kedua: Aku lebih bertimbang rasa terhadap yang membanggakan diri daripada kepada yang angkuh.

Bukankah bangga-diri yang dilukai itu ibu dari semua tragedi? Tetapi dimana terdapat keangkuhan di situ pasti tumbuh sesuatu yang lebih baik daripada keangkuhan.

Agar kehidupan itu enak dipandang, pergelaran nya harus dilakonkan dengan baik: namun untuk itu, diperlukan aktor-aktor yang baik.

Aku dapati semua orang yang bangga-diri adalah aktor-aktor yang baik: mereka berlakon dan rindu agar orang-orang lain ingin menonton mereka---semua semangat mereka berada dalam kerinduan ini.

Mereka melakonkan diri mereka sendiri, mereka menciptakan peran mereka sendiri: aku suka menonton kehidupan di lingkungan mereka---itu menyembuhkan kesedihan.

Aku bertimbang-rasa terhadap yang bangga-diri karena mereka adalah tabib-tabib kesedihanku dan mengikat aku kuat-kuat kepada manusia seperti kepada pergelaran.

Dan lagi pula: siapa bisa memperkirakan kedalaman penuh dari kerendahan hati manusia bangga diri! Aku mencintai dan mengasihani dia karena kerendahan-hatinya itu.

Dia ingin belajar percaya pada dirinya sendiri dari kalian; dia hidup dari lirikan-lirikan mata kalian, dia makan pujian-pujian dari tangan kalian. 

SAAT TERHENING (BAG.2, ZARATHUSTRA)

Kemudian lagi sesuatu berkata padaku tanpa suara: " Bagaimana engkau tahu itu? Embun jatuh di rumput ketika malam pada saat terheningnya. "

Dan aku menjawab: " Mereka mengejekku ketika aku menemukan dan menjalani jalanku sendiri; dan sebenarnya kakiku gemetar saat itu. "

" Dan mereka berkata padaku begini: Engkau telah lupa jalannya, kini engkau juga akan lupa bagaimana berjalan! "

Kemudian lagi sesuatu berkata padaku tanpa suara: " Apa artinya ejekan mereka? " Engkau adalah orang yang telah melupakan bagaimana harus patuh: kini engkau akan memerintah!

" Tahukah engkau apa yang paling dibutuhkan semua manusia? Dia yang memerintahkan hal-hal besar.

" Untuk melakukan hal-hal yang besar itu sulit: tetapi lebih sulit adalah memerintahkan hal-hal besar.

" Inilah yang paling tidak bisa dimaafkan dari dirimu: Engkau memiliki kuasa dan engkau tidak mau memerintah. "

Dan aku menjawab: " Aku tidak memiliki suara singa untuk memerintah. "

Kemudian lagi sesuatu berkata padaku dengan berbisik: " Adalah kata-kata paling hening yang mendatangkan badai. Pikiran-pikiran yang datang pada kaki merpati-merpati membimbing dunia.

" O Zarathustra, engkau akan pergi sebagai suatu bayangan dari apa yang harus datang: demikian engkau akan memerintah dan memerintah itu memimpin berjalan. "

Dan aku menjawab: " Aku merasa malu. "

Kemudian lagi sesuatu berkata padaku tanpa suara: " Engkau akan kembali menjadi seorang anak dan tanpa malu.

" Kebanggaan masa muda masih ada pada engkau, engkau telah terlambat menjadi pemuda: tetapi dia yang ingin menjadi anak-anak harus mengatasi bahkan masa mudanya. "

Dan aku berpikir lama dan gemetaran.
Namun akhirnya aku katakan apa yang aku ucapkan pertama kali: " Aku tidak mau. "

Kemudian pecah tertawa di sekelilingku.
Astaga, betapa tertawaan ini mencabik tubuhku dan membelah hatiku hingga terbuka!

Dan untuk terakhir kalinya sesuatu berkata padaku: " O Zarathustra, buah-buahanmu sudah masak tetapi engkau tidak masak buat buah-buahmu!

" Maka engkau mesti kembali ke kesendirian: karena engkau masih harus menjadi lunak. "

Dan lagi sesuatu tertawa, dan lari: kemudian menjadi sepi sekelilingku seakan-akan dengan kesepian ganda.
Namun aku terbaring di atas tanah dan keringat mengalir dari seluruh tubuhku.

Kini engkau telah mendengar segalanya, dan kenapa aku mesti kembali ke kesendirianku.

Aku tidak merahasiakan sesuatu pun dari kalian, sobat-sobatku.

Dan engkau pun telah mendengar siapa yang paling diam di antara manusia--dan bermaksud untuk terus diam!

Ah, sobat-sobatku! Aku semestinya memiliki lebih banyak untuk aku katakan pada kalian, semestinya aku memiliki lebih banyak untuk aku berikan kepada kalian! Kenapa tidak aku berikan itu? Karena itu apakah aku kikir?

Namun ketika Zarathustra selesai mengucapkan kata-kata ini, kekejaman kesedihannya dan kehampiran keberangkatannya dari teman-temannya menghanyutkannya, sehingga dia menangis keras; dan tidak seorang pun tahu bagaimana menghiburnya.

Tetapi malam itu dia pergi sendirian dan meninggalkan teman-temannya. 


SAAT TERHENING (BAG.1, ZARATHUSTRA)

" Apa yang telah terjadi padaku, sobat-sobatku?
Kalian melihatku risau, terdorong-dorong, terpaksa patuh, siap untuk pergi---astaga, pergi dari kalian! "

Ya, Zarathustra harus pergi menuju kesendiriannya sekali lagi: tetapi kali ini beruang pergi dengan merenggut kembali ke guanya!

" Apa yang telah terjadi padaku? Siapa yang memerintahkan ini? ---astaga, nyonya menghendaki demikian, demikian katanya padaku: pernahkah aku beritahukan pada kalian namanya? "

" Kemarin menjelang petang saat terheningku berkata padaku: itulah nama dari nyonya yang kejam itu. "

" Dan demikianlah, aku harus mengatakan segalanya pada kalian, agar hati kalian tidak menjadi keras terhadapku karena pergi sedemikian tiba-tiba! "

" Tahukah kalian ketakutan yang mencekam dia yang jatuh tertidur? "

" Dia ketakutan sampai ke ujung jarinya, karena tanah terasa runtuh, dan impian dimulai. "

" Aku katakan ini pada kalian dalam sebuah perumpamaan. Kemarin, pada saat terhening, tanah terasa runtuh: impianku mulai. "

" Jarum bergerak, jam kehidupanku menahan napasnya---aku belum pernah mendengar keheningan seperti itu di sekelilingku: sehingga hatiku sangat ketakutan. "

Kemudian, tanpa suara, sesuatu berkata padaku: " Engkau tahu Zarathustra? "

" Dan aku menjerit mendengar bisikan ini, dan darah meninggalkan wajahku: tetapi aku tetap diam. "

Kemudian lagi, sesuatu berbicara padaku tanpa suara : " Engkau tahu, Zarathustra, tetapi engkau tidak bicara! "

Dan akhirnya aku menjawab dan menentang :
" Ya, aku tahu, tetapi aku tidak mau bicara! "

Kemudian lagi sesuatu berkata padaku tanpa suara : " Engkau tidak mau, Zarathustra? Benarkah ini? Jangan sembunyikan dirimu dalam tentanganmu! "

Dan aku menangis dan gemetar seperti anak-anak dan berkata: " Aduh, aku mau, tetapi bagaimana aku bisa? Lepaskan aku dari ini saja! Ini diluar kuasaku! "

Kemudian lagi sesuatu berkata padaku tanpa suara: " Apa artinya dirimu, Zarathustra? Ucapkan ajaranmu dan langgarlah! "

Dan aku menjawab: " Ah, jadi ini tentang ajaranku? Siapakah aku? Aku menunggu orang yang lebih layak: Aku bahkan tidak layak untuk melanggarnya. "

Kemudian lagi sesuatu berkata padaku tanpa suara: " Apa artinya dirimu, Zarathustra? Engkau tidak cukup rendah hati. "

" Kerendahan hati memiliki kulit yang paling keras. "

Dan aku menjawab: " Kata-kataku masih belum memindahkan gunung satu pun dan apa yang telah aku katakan masih belum sampai kepada manusia. Bahkan, aku pergi kepada manusia, tetapi aku masih belum mencapai mereka. "

Kamis, 01 Februari 2024

PENGELANA (BAG.2, ZARATHUSTRA)

Demikianlah kata Zarathustra kepada dirinya sendiri selagi mendaki.

Menghibur hatinya dengan kata-kata keras; karena hatinya terluka sangat dalam.

Dan ketika dia tiba di puncak punggung gunung,
Lihatlah, di sana terbentang laut di sisi lain itu dimukanya; dan dia berdiri dan terdiam lama.
Tetapi malam pada ketinggian ini dingin dan cerah dan terang dengan bintang-bintang.

" Akhirnya aku menyadari nasibku (akhirnya dia berkata dengan sedih).
Baiklah!, aku siap, Kesendirian terakhirku baru saja dimulai. "

" Ah, laut hitam penuh kesedihan di bawahku!
Ah, keengganan muram ini!
Ah, takdir dan laut!
Kini aku mesti turun kepadamu! "

" Aku berdiri dihadapan gunungku yang tertinggi dan pengembaraan ku yang terpanjang; karena itu aku mula-mula harus turun lebih dalam daripada yang pernah aku turuni.

---ke dalam kepedihan yang lebih dalam daripada yang pernah aku rasakan, turun sampai ke alirannya yang paling hitam!
Demikianlah ketentuan takdirku.
Baiklah!  Aku siap. "

Dari manakah munculnya gunung-gunung tertinggi?  Pernah aku bertanya.
Kemudian aku tahu bahwa mereka muncul dari laut.

Hukum ini tertulis pada batu-batu mereka dan di lereng-lereng puncak mereka.
Yang tertinggi harus mencapai ketinggiannya dari kedalaman mereka yang terdalam.

Demikianlah kata Zarathustra di atas puncak gunung yang dingin itu; namun ketika dia sudah dekat dengan laut, dan akhirnya berdiri sendirian di bawah bukit-bukit karang, dia telah menjadi letih dalam perjalanan dan merasa lebih rindu daripada sebelumnya.

" Segalanya masih tertidur (dia berkata); bahkan laut pun tertidur.
Matanya melihat padaku dengan mengantuk dan asing.

Tetapi napasnya hangat; aku merasakannya.
Dan aku merasakan pula bahwa ia sedang bermimpi.
Bermimpi, ia meronta di atas bantal yang keras. "

" Dengar!
Dengar!
Betapa ia melenguh dengan kenangan-kenangan yang jahat!
Atau pengharapan-pengharapan jahat! "

" Ah, aku berduka denganmu, monster hitam, dan juga marah pada diriku demi engkau. "

" Aduh, tangan-tanganku tidak cukup kuat! sungguh, aku akan sangat senang membebaskanmu dari impian-impian burukmu! "

Dan selagi Zarathustra berbicara seperti itu, dia menertawakan dirinya dengan sendu dan pahit.

" Apa, Zarathustra! "
Dia berkata,
" Inginkah kau bernyanyi menghibur laut pula "

" Ah, engkau si dungu manis, Zarathustra, terlalu lekas percaya!
Tetapi begitulah engkau selama ini: Engkau selalu mendekat tanpa curiga kepada segala yang menakutkan. "

" Engkau selalu ingin mengelus setiap monster.
Satu hembusan napas hangat,  satu usapan bulu halus pada cakarnya---dan langsung saja mau mencintai dan membujuknya. "

" Cinta adalah bahaya bagi manusia yang sendirian, cinta pada setiap benda asalkan ia hidup! Benarlah, Kebodohan dan kerendahan hatiku dalam mencinta itu patut ditertawakan! "

Demikian kata Zarathustra dan tertawa lagi: tetapi kemudian dia berpikir tentang teman-temannya yang telah di tinggalkannya,
Dan dia menjadi marah kepada dirinya sendiri karena berpikir seperti itu, seakan-akan dia telah melukai teman-temannya dengan pikiran-pikiran itu.

Dan langsung saja dia yang tertawa itu menangis---karena marah dan rindu maka Zarathustra menangis dengan pahit. 

TENTANG KECERMATAN JANTAN (BAG.1, ZARATHUSTRA)

Bukan ketinggian, tetapi juranglah yang mengerikan! Jurang dimana pandangan mata mengarah ke bawah dan tangan menjangkau ke ata...